love is as simple as how you smile to his/her silly act or unbelievable words or embarrassing move. as easy as looking at him/her and you feel your heart jump out to your mouth so you can't even speak. love is...me, whenever I saw you. inside or outside my head, real or not real, here or there.

Ketika kenyataan lebih indah dari mimpi siang bolong dan juga ketenangan yang menyatronimu di malam hari, kata orang itu adalah cinta. Cinta akan membuat segalanya menjadi indah, pada akhirnya meskipun ada cinta yang begitu rumit untuk sekedar menjadi nyata, terlalu berat untuk mengabulkan permintaan dua insan yang hanya ingin hidup bersama, bahkan ada yang terlampau menyakitkan jika diteruskan. 
Cinta-cinta itu mengagumkan dengan caranya masing-masing. Ketika kamu tidak memahaminya, ia akan berusaha membuatmu membuka mata bahwa ia ada dan selalu ada. Ketika kamu tidak menginginkannya, cinta akan mengubah pandanganmu dan menunjukkan bahwa kamu membutuhkannya. Sampai akhirnya kamu melihat sendiri bahwa ia nyata. Ia ada di mana-mana.
Memandang segala hal dari sisi positif juga adalah bentuk cinta dan bagaimana cinta meminta kita menyadari keberadaannya meski kadang kita tidak mampu karena silau kebencian yang mendalam.

Cinta adalah aku, kamu, kami, dia, kita, mereka, semua orang. Silakan hitung kadar cinta kalian untuk setiap orang, dan benci hanyalah sebuah tanda cinta yang besarnya sama dengan mencintai itu sendiri. Sadar atau tidak sadar ia ada di mana-mana, tulus menawarkan jasanya agar kita dapat merasa hal-hal terindah dalam hidup yang memang seharusnya kita rasakan.
Bergerak, berbicara, menyanyi, menari, bertindak seperti apapun yang kita mau dan cinta akan menjadikannya indah..


regards,
Neneng

Dan Cinta Akan Menjadikannya Indah

love is as simple as how you smile to his/her silly act or unbelievable words or embarrassing move. as easy as looking at him/her and you f...



EHEM. jadi udah lama ya ga nongol di blog. kali ini cuma pengen ngeshare sedikit.... emmm entahlah ini dibilang cerpen juga ga layak, dibilang prosa juga bukan emmm... apa ya? ya sekedar tulisan iseng di sore hari setelah kelelahan menikmati pemandangan bawah laut :D
so, enjoy :)


.
Dia pernah merasakan yang lebih sakit dari ini, maka seharusnya kali ini tidak lebih sulit dari sebelumnya. Mematikan kenangan adakalanya tidak seberat menghapus air mata atau bahkan menahannya untuk tidak keluar. Ia sudah pernah tercabik sebelumnya, seharusnya sekarang dia jauh lebih kuat.
Teriakannya kala itu terasa amat perih di semua telinga yang mendengar, tangisannya dulu menghujam jantung siapapun yang melihat. Seolah setelah hari itu ia tidak bisa lagi meneteskan air mata walau sedikit saja. Hari itu adalah hari di mana bunda pergi untuk selamanya, direnggut pengendara mobil mewah yang lalai mengawasi lampu lalu lintas yang sedetik sebelumnya berubah warna menjadi merah membara. Rumah sakit tempat bunda dilarikan setelah kejadian itu menjadi saksi sakit yang ia rasakan.
Hari ini adalah kedua kalinya ia dihadapkan pada kenyataan yang sama. Ia hanya diam ketika tubuh tak berdaya itu diangkat di hadapannya, tangannya yang menggenggam erat lengan baju yang dikenakan pemilik tubuh itu dilepaskan pelan-pelan oleh entah siapa, matanya tidak pernah berhenti mengikuti arah kemana tubuh itu akan dibawa. Ia bisa mendengar isak tangis yang bergema di sekelilingnya, di lorong kecil Rumah Sakit tempat mereka sekarang berada, tapi ia tetap diam. Sampai ketika tubuh yang ditutupi kain putih itu dilewatkan lagi dihadapannya menggunakan tempat tidur yang didorong oleh para perawat, matanya tetap mengawasi dengan pandangan kosong.
Beberapa terlihat murka karena kelakuannya, beberapa memaklumi karena mengerti apa yang ia rasakan, beberapa yang lain merangkul dan menangis di pundaknya sementara tidak ada setetespun air mata yang mengalir dipipinya.
Kalau ia bisa menangis, mungkin tangisannyalah yang paling keras terdengar mengalahkan puluhan isakan yang lain. Tapi air matanya sudah mengering sejak kepergian bunda, tidak ada lagi yang tersisa. Lututnya hanya tiba-tiba melemas dan membuatnya jatuh terduduk di lantai karena sudah tak sanggup lagi menahan berat tubuhnya. Bagaimana tidak, ia melihat nyawa orang yang ia sayangi diambil lagi di depan matanya. Kali ini seharusnya ia merasakan sakit yang lebih karena orang itu tidak pernah tahu apa yang ia rasakan untuknya dan ia belum juga memiliki keberanian untuk mengungkapkannya dan kini orang itu benar-benar tak akan pernah mengetahuinya.
Ia sudah tidak lagi dalam pelukan seseorang ketika terduduk di lantai tanpa air mata, ia hanya sendiri, namun ia merasakan perih yang luar biasa menekan kencang dadanya. Ia ingin berteriak, namun di satu sisi ia menanyakan pada dirinya untuk apa berteriak? Hanya akan memekakan telinga, atau bahkan menghilangkan suaranya sendiri. Ia hanya mencoba mengatakan lagi berulang-ulang kali kalimat yang seharusnya sudah lama ia katakan pada orang itu, tanpa harus menunggunya pergi terlebih dahulu.
Aku sayang kamu..
 .


regards,
neneng :)

...Maka Seharusnya Tidak Sesulit Itu

EHEM. jadi udah lama ya ga nongol di blog. kali ini cuma pengen ngeshare sedikit.... emmm entahlah ini dibilang cerpen juga ga layak, ...

They love each other, adore each other, care to each other. Yet, they refuse to be honest to each other and so, they hurt each other and become the tears on each other’s cheek.

.

“Karena sekarang aku terluka melihatnya, menatapnya bersama dengan yang lain. Tapi aku tidak pernah bisa jujur padanya, bahkan pada diriku sendiri, jadi kenapa aku harus terluka? Resiko dari perasaan yang terpendam, bukan, resiko dari perasaan yang tak pernah sanggup kuucapkan adalah luka dan semua perih yang mengiringi. Seharusnya aku tahu sejak lama.”
-Rosa-

“Pernahkah ia tiba-tiba memikirkanku dalam harinya seperti aku yang masih saja sering memikirkannya di tengah kegiatan yang sedang kulakukan? Kenapa aku memilih orang lain? Aku seharusnya terus berjuang untuknya, ia yang tidak pernah pergi dari pikiranku bahkan ketika aku sudah bersama dengan yang lain.”
-Ichsan-

“Kenapa aku tidak bisa memilikinya?”
-Rosa-
-Ichsan-

.
Pesta. Satu kata yang mungkin bisa memiliki banyak arti, membawa banyak perasaan, melibatkan banyak orang. Satu orang hanya berdiam diri di dalam kamarnya sementara puluhan atau bahkan ratusan orang lain sangat antusias untuk bersiap-siap di depan kaca sebelum berangkat menuju pesta tersebut.
Prom. Gaun yang seharusnya sudah ia coba jauh-jauh hari yang lalu untuk malam ini, belum juga tersentuh sama sekali. Rosa hanya duduk diam di kursi belajarnya yang menghadap ke jendela luar kamarnya, tidak berminat untuk beranjak sedikitpun walau ia tahu acara akan dimulai tepat satu jam lagi. Ada yang masih saja menahannya pergi meski beberapa kali ia sudah berhasil mengumpulkan niat untuk pergi.
Gaun berlayer selutut itu berwarna ungu tua dari atas dengan gradasi hingga putih pada bagian bawah. Indah luar biasa. Ia seharusnya dipadankan dengan summer wedges berwarna ungu muda dan clutch berwarna hitam yang memang sudah dipersiapkan sejak lama. Rosa memutar kursinya dan memandangi gaun serta perlengkapan lainnya yang tergeletak manis di atas kasur.
Pergi.
Tidak.
Pergi.
Tidak.
Pergi.
Jam berdetak terus, tanpa ada keinginan untuk berhenti. Rosa harus segera mengambil keputusan.
.
Sudah puluhan kali cowok itu melirik jam tangan hitam metalik yang melingkar di tangan kirinya. Sesekali celingukan memeriksa orang-orang di sekitarnya. Sedikit berubah, tapi bukan perubahan yang ia inginkan.
“San!”
Cowok itu menoleh ke arah suara lalu mengedikkan kepalanya pada gadis yang menghampirinya, “Hei, Nin. Kenapa?”
Tangan Nina mengarah pada baju yang cowok itu kenakan dari atas hingga bawah. Malam itu Ichsan mengenakan kemeja biru muda dibalut jas biru tua yang tidak dikancing serta celana jeans hitam belel yang sedikit sobek pada bagian lutut. “Gak cocok banget.”
Ichsan menggeleng sambil tertawa, “Gue gak bakat dandan rapi.”
Kali ini Nina yang tertawa dan kembali bertanya setelah selesai tergelak, “Lu liat Rosa gak dari tadi?”
ITU adalah pertanyaan yang juga ingin ia tanyakan sejak datang di gedung tempat berlangsungnya prom ini kepada siapapun yang ia kenal dan mengenal Rosa. Tidak mungkin ada yang luput ketika melihatnya. Gadis itu memang mungil, tapi paras cantik dan suaranya yang menggelegar tidak akan lepas dari perhatian.
Ichsan menggeleng menjawab pertanyaan Nina, “Belum. Lu gak tau juga kemana dia?”
Nina juga menggeleng, “Dari tadi pagi gak ada kabar. Abis pulsa kali.” Nina mengeluarkan ponsel dari tas tangannya yang berwarna oranye cerah senada dengan gaun selutut tanpa lengannya yang berwarna peach, “By the way, Rara mana?”
“Gak ikut.” Jawab Ichsan singkat dan kentara sekali ia tidak mau membahasnya terlalu jauh.
Nina mengangguk pelan namun tidak melanjutkan lagi pertanyaannya, “Kalo gitu gue nyari Rosa dulu ya. Kali aja dia nyelip di mana gitu.” Ichsan mengangguk dan melambai pada Nina yang menjauh.
Ia masih celingukan ke seantero gedung itu setelah Nina jauh dari pandangannya. Ia masih berharap gadis itu muncul.

 Hanya Ichsan yang sudah menyadari bahwa Rosa akan menjadi pusat perhatian bahkan sebelum gadis itu datang, dan sekarang semuanya seolah setuju dengan spekulasinya. Semua menoleh ketika gadis itu lewat, semua menatap ketika gadis itu melintas, semua yang mengenal menyapanya.
Dengan gaun ungu dan rambut sebahunya yang digerai diarahkan ke bagian depan, Rosa terlihat memukau. Kemudian puluhan bahkan ratusan kutukan tertuju pada Ichsan yang sudah terlampau dekat dengan gadis itu sejak tahun pertama namun menyia-nyiakan kesempatannya dengan memacari gadis lain.
Ichsan mengamati kedatangan Rosa dari kejauhan, tanpa kata. Karena tidak ada kata yang bisa mengutarakan apa yang terlintas di otaknya ataupun menggambarkan kebodohannya. Terlebih ketika melihat gadis itu tersenyum dan bahkan tertawa dengan sahabat-sahabatnya. Senyum itu pernah menjadi alasan hadirnya senyumnya, dan ia pernah menjadi alasan hadirnya senyum itu.
Satu detik mata mereka bertatapan ketika tak sengaja Rosa mengedarkan pandangan ke seluruh isi gedung, satu detik yang langsung membuat Ichsan tahu ada yang berbeda dari sorot mata gadis itu.
Rosa dan Ichsan, Ichsan dan Rosa. Dua nama itu sudah menjadi pasangan di obrolan dan otak banyak orang sejak tahun pertama mereka berjumpa di sekolah menengah atas. Sudah terlalu dekat, sudah terlampau jauh. Bukan lagi hubungan antara dua orang, tapi dua kubu pertemanan, dua kubu yang setuju dan tidak setuju. Ketika sebulan yang lalu Ichsan memilih Rara, gadis biasa yang tidak pernah terdengar dari sekolah seberang, puluhan orang patah hati mewakili luka yang ditutupi dengan senyum lebar dan celotehan ceria Rosa yang mencengangkan. Malam ini entah luka itu diletakkan di mana, sehingga sekarang Ichsan merasakan perih yang tidak pernah ada sebelumnya hanya dengan melihat gadis itu dan sorotan matanya yang berbeda.
Ichsan memecah kerumunan dan berjalan menuju tempat Rosa berada, mengabaikan banyak pandangan. Sahabat-sahabat Rosa, termasuk Nina, membiarkan Rosa sendiri ketika mengetahui Ichsan datang mendekat. Dan mendadak kerumunan juga perlahan menghilang dengan sendirinya, menyisakan space kosong untuk keduanya.
“Hey.”
Panggilan yang selalu digunakan oleh Ichsan pada Rosa. Rosa tersenyum manis dan menyapanya balik, “Hey, San.”
You look...” Ichsan menggantung kalimatnya ketika ia melihat gadis itu dari atas ke bawah, “...wow.
And you look..” Rosa melihat padu padan yang buruk pada gaya berpakaian Ichsan dan hanya tersenyum, “..so you.”
Kali ini Ichsan yang tergelak, “Ya, aku gak bakat dandan rapi ke acara formal kayak gini.”
“Mana Rara?”
That question again. “Gak ikut.” Sesingkat itu. Ichsan tidak berkeinginan membahas hal itu dan ia tahu Rosa akan mengerti seperti biasanya, hanya saja entah untuk malam ini.
“Lain kali harus kamu ajak, San. Dia pasti pengen ikut, kan? Temen-temen juga pasti pengen kenal sama Rara. She’s such a lovely girl.”
Ternyata, tidak untuk malam ini. “Trus? Aku harus balik dan jemput dia, gitu?”
Rosa mengangkat bahu, “Bisa jadi.”
Pause. Ichsan menghela napas berat sebelum berbicara, “This is not about her or me, this is about us. What about us?
There’s no us.” Jawab Rosa singkat, ekspresinya tidak berubah. “Sejak awal, ini semua cuma permainan, kan? Permainan kata, permainan mata, permainan hati. Gak pernah ada yang serius.”
“Aku sayang kamu, Sa. Ini serius.”
Anehnya, Rosa tidak kaget dengan ucapan Ichsan. Tidak sama sekali dan ia malah mengeluarkan pernyataan yang mengejutkan, “Aku rasa kita gak perlu ketemu lagi, San. This is the end. Game over.
Rosa sudah akan pergi dari hadapan Ichsan ketika cowok itu menahan tangannya, “Sa.”
Lirih gadis itu berkata tepat di depan wajah Ichsan dan membuat cowok itu terdiam sempurna, “Let me go, or I will never have the strength to let you go.”
.
“Kamu jangan pernah nyakitin ataupun bikin marah atau ngecewain apalagi mutusin dia ya, Ra.” Rosa tidak menatap mata gadis itu ketika berbicara. Ia sengaja menghampiri Rara ke rumahnya sebelum berangkat ke prom malam itu.
“Maksud kamu, Sa?”
Rosa mendongak dan melihat mata gadis itu, mungkin mata yang membuat cowok yang ia cintai mencintainya, “Ketika kalian jadian, temen-temenku nyalahin kamu dan nyebut kamu ngerebut dia dari aku. Dan ketika nanti ada apa-apa sama kalian berdua, temen-temen kamu akan nyebut aku ngerebut dia dari kamu atau temen-temenku bakal makin nyalahin kamu. Kita gak berhak dapet itu, Ichsan juga gak berhak dapet gunjingan seperti itu.”
“Kamu... sayang banget ya, Sa, sama dia?”
Pertanyaan itu hanya membuat Rosa tersenyum, “Belum ada yang bisa ngegantiin dia, Ra, sekeras apapun aku coba.” Ia lalu bersiap untuk pergi, “Bahagiain dia, ya. Dan aku bakal berterima kasih banget sama kamu.”
“Sa..”
Rosa tersenyum lagi, “Aku pamit ya, aku gak bakal ganggu kalian lagi kok, dan aku gak bakal ngerebut dia dari kamu.”
.
”Dan aku tidak akan pernah bisa memilikinya.
-Rosa-
-Ichsan-


THE END



regard,
neneng :)

Dan Aku Tidak Akan Pernah Bisa Memilikinya

They love each other, adore each other, care to each other. Yet, they refuse to be honest to each other and so, they hurt each other ...

Kenapa pergi?
Kenapa pergi tanpa pamit?
Kenapa pergi dalam diammu?
Kenapa pergi ketika semua masih tertinggal tanpa kejelasan yang beralasan?
Kenapa pergi dulu?
Kenapa pergi?

Kenapa kembali?
Kenapa kembali setelah lama pergi?
Kenapa kembali dari pergimu yang tak beralasan?
Kenapa kembali ketika aku baru saja berhasil menutup pintu menuju ke arahmu rapat-rapat?
Kenapa kembali sekarang?
Kenapa kembali?

Kenapa cinta?
Kenapa cinta harus datang?
Kenapa cinta datang terlambat?
Kenapa cintamu datang ketika aku sudah memberikannya kepada orang lain?
Kenapa cinta kali ini?
Kenapa cinta?

Kenapa maaf?
Kenapa maaf menjadi alasan?
Kenapa maaf selalu menjadi eksekusi akhir?
Kenapa maaf bukan kata yang kamu sampaikan ratusan hari sebelum ini?
Kenapa maaf yang kamu katakan?
Kenapa maaf?

Kenapa?
Tak satupun kudapat jawabannya
Kenapa?
Karena aku tak pernah menanyakannya


Regards,
Neneng

Kenapa?

Kenapa pergi? Kenapa pergi tanpa pamit? Kenapa pergi dalam diammu? Kenapa pergi ketika semua masih tertinggal tanpa kejelasan yang be...

Kamu seringkali disebut malaikat, dan seringkali kamu memanggilku dewi.

Seringkali aku bahagia memiliki seorang sahabat malaikat. Karena seperti lagu, aku percaya malaikat kadang tak bersayap dan memiliki wujud yang lain. Mungkin saja memang kamu. Tapi bagaimana caranya kamu terbang begitu jauh jika kamu tidak memiliki sayap? Maka kamu mencoba menumbuhkan sayapmu dan memintaku selalu di sampingmu ketika itu.

Tapi lalu kamu terlalu sibuk membenarkan tangan dan kaki orang lain yang patah meskipun bukan karena perbuatanmu, namun membiarkan ketika aku terjatuh walaupun tepat di hadapanmu.

"Seorang dewi harus bisa berdiri sendiri." Begitu katamu. Maka aku berdiri. Sendiri, tanpa bantuanmu.

Ketika aku memintamu untuk tinggal, kamu selalu bilang ada banyak orang yang membutuhkanmu karena kamu malaikat. "Tapi dewi butuh malaikatnya." ujarku kemudian. Kamu hanya menggeleng.

Perlahan-lahan sayapmu tumbuh sehingga dengan bebas kamu terbang kesana-kemari, semakin tak menghiraukan ketika kupegang erat helaian sayapmu untuk menahanmu pergi.

Kamu tidak sadar ketika orang-orang yang kamu bantu itu mulai jatuh cinta pada keindahan sayapmu dan berkeinginan untuk memilikinya. Aku melihat dan selalu mencoba memperingatkannya padamu, tapi kini kamu berkilo-kilo meter jaraknya dariku, sehingga sekuat apapun aku berteriak kamu tak akan dapat mendengarku dengan jelas.

Ketika kamu sadar, sayapmu sudah compang-camping karena terlalu sering ditarik paksa oleh terlalu banyak orang. Kamu melihatku dari jauh dan aku balas menatapmu. Jelas sekali kamu kesal karena kehilangan sayap yang kamu tumbuhkan dengan usaha keras ketika aku selalu ada di sampingmu.

Kemudian setelahnya aku lebih sering menyesal karena memiliki seorang sahabat malaikat.  Malaikat yang terlalu sibuk mengurusi orang lain sehingga tidak sadar apa yang telah terjadi pada dirinya sendiri dan pada dewinya. Malaikat yang belum bisa menempatkan diri dengan tepat. Malaikat yang akan kehilangan dewinya dalam satu kedipan mata karena tidak pernah bisa memahami keberadaannya.

Selamat tinggal malaikat yang terlalu sibuk. Urusi saja mereka.

---


Regards,
neneng.


Malaikat yang Terlalu Sibuk

Kamu seringkali disebut malaikat, dan seringkali kamu memanggilku dewi. Seringkali aku bahagia memiliki seorang sahabat malaikat. Karen...

Have you ever lost your respect to the person who happened to be the one whom you put respect to?
I have.
It was my very best friend and I don't even know if he still my best friend or not. 

How can I?
Well, he promised a lot of things to me and left everything uncleared. He broke our promises as best friend and I don't even think he remember it anyway.
A lot of things happen. A lot, and he won't say any sorry to me or thanks or any excuses. What does he think he's doing? He broke my heart.

I don't have a lot to say, just try to express my feelings into a couple of words.

regards,
neneng

I Don't Have a Lot to Say

Have you ever lost your respect to the person who happened to be the one whom you put respect to? I have. It was my very best friend an...

Sometimes we have to know when to hold onto something and when we have to let go of it.

But why? Why do we have to let go of something we truly believe, we truly care? 
Because you can't have one thing for a very long time. You will have a moment to keep it safe and then you simply have to let it go. Even if it was very important, very loved, and very much represent yourself, still you have to let it go.

Will it come back to us?
Depend on how you let it go. You have to let it go with whole-hearted. The more you aren't sincere, the harder you send them away from your life and it'll take more time for it to come back.

Life needs spaces. We cannot move when it's too crowded, we cannot breathe when the air is too little, we cannot see when it's too dark.

So let him go, dear.
Let him happy even if you didn't feel the same way.
Let him smile and share it to other person even if you felt so much broke inside.
You will happy when you see him happy, if you really loved him that much.

He will never walk out of your life if you didn't want to.
He'll stay in your heart and look at your eyes whenever you let him back to you.

He never really leave you, He'll stay right there..





For a friend,

Regards,
Neneng

Hold On and Let Go

Sometimes we have to know when to hold onto something and when we have to let go of it. But why? Why do we have to let go of something we ...

Hey, It's Me! :)

My photo
I'm a girl, I'm a riot, I'm a dreamer. nice to meet you :)

Search

Instagram

Them :)

Categories

story (26) hobby (18) love (16) hobi (15) me (15) renungan (14) you (14) privasi (10) us (9) him (7) secret (7) indonesia (6) oneshot (6) cerpen indonesia (5) kumpulan cerpen (5) picture (5) poem (5) cerita pendek (4) download (3) biodiversitas (2) gossip girl (2) photography (2) sepi (2) Portugal (1) college (1) fauna (1) future (1) jurnal (1) review (1) scylla (1) subtitle (1) year (1)

Most Wanted :)