Dan Aku Tidak Akan Pernah Bisa Memilikinya

They love each other, adore each other, care to each other. Yet, they refuse to be honest to each other and so, they hurt each other and become the tears on each other’s cheek.

.

“Karena sekarang aku terluka melihatnya, menatapnya bersama dengan yang lain. Tapi aku tidak pernah bisa jujur padanya, bahkan pada diriku sendiri, jadi kenapa aku harus terluka? Resiko dari perasaan yang terpendam, bukan, resiko dari perasaan yang tak pernah sanggup kuucapkan adalah luka dan semua perih yang mengiringi. Seharusnya aku tahu sejak lama.”
-Rosa-

“Pernahkah ia tiba-tiba memikirkanku dalam harinya seperti aku yang masih saja sering memikirkannya di tengah kegiatan yang sedang kulakukan? Kenapa aku memilih orang lain? Aku seharusnya terus berjuang untuknya, ia yang tidak pernah pergi dari pikiranku bahkan ketika aku sudah bersama dengan yang lain.”
-Ichsan-

“Kenapa aku tidak bisa memilikinya?”
-Rosa-
-Ichsan-

.
Pesta. Satu kata yang mungkin bisa memiliki banyak arti, membawa banyak perasaan, melibatkan banyak orang. Satu orang hanya berdiam diri di dalam kamarnya sementara puluhan atau bahkan ratusan orang lain sangat antusias untuk bersiap-siap di depan kaca sebelum berangkat menuju pesta tersebut.
Prom. Gaun yang seharusnya sudah ia coba jauh-jauh hari yang lalu untuk malam ini, belum juga tersentuh sama sekali. Rosa hanya duduk diam di kursi belajarnya yang menghadap ke jendela luar kamarnya, tidak berminat untuk beranjak sedikitpun walau ia tahu acara akan dimulai tepat satu jam lagi. Ada yang masih saja menahannya pergi meski beberapa kali ia sudah berhasil mengumpulkan niat untuk pergi.
Gaun berlayer selutut itu berwarna ungu tua dari atas dengan gradasi hingga putih pada bagian bawah. Indah luar biasa. Ia seharusnya dipadankan dengan summer wedges berwarna ungu muda dan clutch berwarna hitam yang memang sudah dipersiapkan sejak lama. Rosa memutar kursinya dan memandangi gaun serta perlengkapan lainnya yang tergeletak manis di atas kasur.
Pergi.
Tidak.
Pergi.
Tidak.
Pergi.
Jam berdetak terus, tanpa ada keinginan untuk berhenti. Rosa harus segera mengambil keputusan.
.
Sudah puluhan kali cowok itu melirik jam tangan hitam metalik yang melingkar di tangan kirinya. Sesekali celingukan memeriksa orang-orang di sekitarnya. Sedikit berubah, tapi bukan perubahan yang ia inginkan.
“San!”
Cowok itu menoleh ke arah suara lalu mengedikkan kepalanya pada gadis yang menghampirinya, “Hei, Nin. Kenapa?”
Tangan Nina mengarah pada baju yang cowok itu kenakan dari atas hingga bawah. Malam itu Ichsan mengenakan kemeja biru muda dibalut jas biru tua yang tidak dikancing serta celana jeans hitam belel yang sedikit sobek pada bagian lutut. “Gak cocok banget.”
Ichsan menggeleng sambil tertawa, “Gue gak bakat dandan rapi.”
Kali ini Nina yang tertawa dan kembali bertanya setelah selesai tergelak, “Lu liat Rosa gak dari tadi?”
ITU adalah pertanyaan yang juga ingin ia tanyakan sejak datang di gedung tempat berlangsungnya prom ini kepada siapapun yang ia kenal dan mengenal Rosa. Tidak mungkin ada yang luput ketika melihatnya. Gadis itu memang mungil, tapi paras cantik dan suaranya yang menggelegar tidak akan lepas dari perhatian.
Ichsan menggeleng menjawab pertanyaan Nina, “Belum. Lu gak tau juga kemana dia?”
Nina juga menggeleng, “Dari tadi pagi gak ada kabar. Abis pulsa kali.” Nina mengeluarkan ponsel dari tas tangannya yang berwarna oranye cerah senada dengan gaun selutut tanpa lengannya yang berwarna peach, “By the way, Rara mana?”
“Gak ikut.” Jawab Ichsan singkat dan kentara sekali ia tidak mau membahasnya terlalu jauh.
Nina mengangguk pelan namun tidak melanjutkan lagi pertanyaannya, “Kalo gitu gue nyari Rosa dulu ya. Kali aja dia nyelip di mana gitu.” Ichsan mengangguk dan melambai pada Nina yang menjauh.
Ia masih celingukan ke seantero gedung itu setelah Nina jauh dari pandangannya. Ia masih berharap gadis itu muncul.

 Hanya Ichsan yang sudah menyadari bahwa Rosa akan menjadi pusat perhatian bahkan sebelum gadis itu datang, dan sekarang semuanya seolah setuju dengan spekulasinya. Semua menoleh ketika gadis itu lewat, semua menatap ketika gadis itu melintas, semua yang mengenal menyapanya.
Dengan gaun ungu dan rambut sebahunya yang digerai diarahkan ke bagian depan, Rosa terlihat memukau. Kemudian puluhan bahkan ratusan kutukan tertuju pada Ichsan yang sudah terlampau dekat dengan gadis itu sejak tahun pertama namun menyia-nyiakan kesempatannya dengan memacari gadis lain.
Ichsan mengamati kedatangan Rosa dari kejauhan, tanpa kata. Karena tidak ada kata yang bisa mengutarakan apa yang terlintas di otaknya ataupun menggambarkan kebodohannya. Terlebih ketika melihat gadis itu tersenyum dan bahkan tertawa dengan sahabat-sahabatnya. Senyum itu pernah menjadi alasan hadirnya senyumnya, dan ia pernah menjadi alasan hadirnya senyum itu.
Satu detik mata mereka bertatapan ketika tak sengaja Rosa mengedarkan pandangan ke seluruh isi gedung, satu detik yang langsung membuat Ichsan tahu ada yang berbeda dari sorot mata gadis itu.
Rosa dan Ichsan, Ichsan dan Rosa. Dua nama itu sudah menjadi pasangan di obrolan dan otak banyak orang sejak tahun pertama mereka berjumpa di sekolah menengah atas. Sudah terlalu dekat, sudah terlampau jauh. Bukan lagi hubungan antara dua orang, tapi dua kubu pertemanan, dua kubu yang setuju dan tidak setuju. Ketika sebulan yang lalu Ichsan memilih Rara, gadis biasa yang tidak pernah terdengar dari sekolah seberang, puluhan orang patah hati mewakili luka yang ditutupi dengan senyum lebar dan celotehan ceria Rosa yang mencengangkan. Malam ini entah luka itu diletakkan di mana, sehingga sekarang Ichsan merasakan perih yang tidak pernah ada sebelumnya hanya dengan melihat gadis itu dan sorotan matanya yang berbeda.
Ichsan memecah kerumunan dan berjalan menuju tempat Rosa berada, mengabaikan banyak pandangan. Sahabat-sahabat Rosa, termasuk Nina, membiarkan Rosa sendiri ketika mengetahui Ichsan datang mendekat. Dan mendadak kerumunan juga perlahan menghilang dengan sendirinya, menyisakan space kosong untuk keduanya.
“Hey.”
Panggilan yang selalu digunakan oleh Ichsan pada Rosa. Rosa tersenyum manis dan menyapanya balik, “Hey, San.”
You look...” Ichsan menggantung kalimatnya ketika ia melihat gadis itu dari atas ke bawah, “...wow.
And you look..” Rosa melihat padu padan yang buruk pada gaya berpakaian Ichsan dan hanya tersenyum, “..so you.”
Kali ini Ichsan yang tergelak, “Ya, aku gak bakat dandan rapi ke acara formal kayak gini.”
“Mana Rara?”
That question again. “Gak ikut.” Sesingkat itu. Ichsan tidak berkeinginan membahas hal itu dan ia tahu Rosa akan mengerti seperti biasanya, hanya saja entah untuk malam ini.
“Lain kali harus kamu ajak, San. Dia pasti pengen ikut, kan? Temen-temen juga pasti pengen kenal sama Rara. She’s such a lovely girl.”
Ternyata, tidak untuk malam ini. “Trus? Aku harus balik dan jemput dia, gitu?”
Rosa mengangkat bahu, “Bisa jadi.”
Pause. Ichsan menghela napas berat sebelum berbicara, “This is not about her or me, this is about us. What about us?
There’s no us.” Jawab Rosa singkat, ekspresinya tidak berubah. “Sejak awal, ini semua cuma permainan, kan? Permainan kata, permainan mata, permainan hati. Gak pernah ada yang serius.”
“Aku sayang kamu, Sa. Ini serius.”
Anehnya, Rosa tidak kaget dengan ucapan Ichsan. Tidak sama sekali dan ia malah mengeluarkan pernyataan yang mengejutkan, “Aku rasa kita gak perlu ketemu lagi, San. This is the end. Game over.
Rosa sudah akan pergi dari hadapan Ichsan ketika cowok itu menahan tangannya, “Sa.”
Lirih gadis itu berkata tepat di depan wajah Ichsan dan membuat cowok itu terdiam sempurna, “Let me go, or I will never have the strength to let you go.”
.
“Kamu jangan pernah nyakitin ataupun bikin marah atau ngecewain apalagi mutusin dia ya, Ra.” Rosa tidak menatap mata gadis itu ketika berbicara. Ia sengaja menghampiri Rara ke rumahnya sebelum berangkat ke prom malam itu.
“Maksud kamu, Sa?”
Rosa mendongak dan melihat mata gadis itu, mungkin mata yang membuat cowok yang ia cintai mencintainya, “Ketika kalian jadian, temen-temenku nyalahin kamu dan nyebut kamu ngerebut dia dari aku. Dan ketika nanti ada apa-apa sama kalian berdua, temen-temen kamu akan nyebut aku ngerebut dia dari kamu atau temen-temenku bakal makin nyalahin kamu. Kita gak berhak dapet itu, Ichsan juga gak berhak dapet gunjingan seperti itu.”
“Kamu... sayang banget ya, Sa, sama dia?”
Pertanyaan itu hanya membuat Rosa tersenyum, “Belum ada yang bisa ngegantiin dia, Ra, sekeras apapun aku coba.” Ia lalu bersiap untuk pergi, “Bahagiain dia, ya. Dan aku bakal berterima kasih banget sama kamu.”
“Sa..”
Rosa tersenyum lagi, “Aku pamit ya, aku gak bakal ganggu kalian lagi kok, dan aku gak bakal ngerebut dia dari kamu.”
.
”Dan aku tidak akan pernah bisa memilikinya.
-Rosa-
-Ichsan-


THE END



regard,
neneng :)

Post a Comment

Hey, It's Me! :)

My photo
I'm a girl, I'm a riot, I'm a dreamer. nice to meet you :)

Search

Instagram

Them :)

Categories

story (26) hobby (18) love (16) hobi (15) me (15) renungan (14) you (14) privasi (10) us (9) him (7) secret (7) indonesia (6) oneshot (6) cerpen indonesia (5) kumpulan cerpen (5) picture (5) poem (5) cerita pendek (4) download (3) biodiversitas (2) gossip girl (2) photography (2) sepi (2) Portugal (1) college (1) fauna (1) future (1) jurnal (1) review (1) scylla (1) subtitle (1) year (1)

Most Wanted :)