Sekuat Apa Asa Akan Bertahan?



Kamu menatapku sayu. Bahkan setelah jutaan kali kukatakan aku baik-baik saja, kamu masih tetap dengan matamu yang kini berkaca-kaca hingga kamu bilang pandanganmu menjadi sedikit kabur ketika melihatku. Untuk berjuta kalinya kuyakinkan lagi bahwa aku tidak apa-apa. Ini semua hanya masalah waktu, dan uang, mungkin.
Gelenganmu putus asa dan cukup memilukan hati. Uang tidak jadi masalah buatmu dan semua orang yang ada di jajaran kelas yang sama denganmu. Tapi waktu? Bisa jadi kamu atau aku tidak memilikinya cukup panjang.
Namun tidak ada yang bisa kita lakukan setelah keputusan itu sudah bulat. Keputusan yang mungkin bisa membuatku menembak diriku sendiri sampai mati di tempat keputusan dibuat kalau saja aku tidak sadar akan adanya hukuman yang lebih berat nanti di akhirat. Selain itu juga karena ada kamu disana, yang walaupun sudah membeli puluhan bantuan untukku namun sama sekali tidak membuahkan hasil. Meski dengan sesenggukan yang tak henti-henti terdengar, kamu masih setia menunggui walaupun hasil akhir tidak sesuai dengan yang kita berdua harapkan.
Aku mengamati dengan seksama ketika kamu melepaskan jarum pentul yang kamu pakai untuk merapatkan jilbab yang kamu kenakan, menaruhnya di atas meja diantara kita dan membenarkan jilbabmu lagi dengan peniti yang kamu keluarkan dari saku celana. Kekehan pelan dan perih keluar dari mulutku karena aku tahu benar apa rencanamu. Gelenganku muncul setelahnya.
Memangnya kenapa? Tanyamu dengan nada super serius dan tatapan tajam seolah menghunusku serupa pedang samurai dari Jepang yang merangsek menembus organ tubuhku. Kalau uang tidak mampu membayar, maka biarkan jarum itu yang bekerja! Katamu lagi.
Untuk apa? Tidak ada gunanya semua yang kamu rencanakan dalam otakmu dengan bantuan jarum itu. Jarum itu bisa kamu gunakan menembus kain untuk merapatkan jilbabmu, tapi tidak untuk menembus pertahanan mereka karena ini semua memang kesalahanku!
Kamu diam. Tidak seperti kamu yang selama ini kukenal, kamu menuruti omonganku.
Detik demi detik berlalu tanpa suara sementara kamu memainkan jarum pentul yang menjadi satu-satunya benda di atas meja yang sama sekali kuhiraukan.
12 tahun. Ratapmu kemudian. Kamu menunduk dan tidak lagi berani menunjukkan matamu yang mungkin kini sudah tertutup sempurna dengan air mata yang menggenang di kedua pelupuknya.
Anggukanku tidak ada gunanya karena kamu juga tidak melihat. Dalam sepi itu waktu tak lama lagi akan memisahkan kita, membawaku kembali ke dalam pertahanan mereka, dan kamu hanya akan bisa melihatku dari balik rangkaian jeruji besi yang melindungiku dari dunia luar. Lalu akhirnya kuberanikan untuk menggenggam tanganmu dan mengajakmu berbicara serius ketika kemudian kamu mengangkat kepala.
Kita tidak akan bertahan seperti ini selama 12 tahun. Dalam 12 tahun, kamu bisa menemukan pria lain yang lebih pantas denganmu dari pada seseorang yang kamu ratapi dan berada di dalam sel penjara karena terjerat kasus obat-obatan terlarang.
Picisan. Gelenganmu masih juga diiringi sesak akibat tangis yang memberangus napasmu menjadi satu-satu. Belum ada kalimat panjang atau sekedar penolakan dari mulutmu sehingga aku melanjutkan.
Dalam 12 tahun aku tidak akan sama lagi. Mungkin wajahku sudah penuh kumis dan jambang yang kamu benci atau malah keriput yang menjadi aksesoris permanen wajahku. Kamu tak perlu lagi menunggu. Aku sudah melepasmu untuk mendapatkan yang lebih baik.
Tangisanmu makin keras dan memekakan telinga yang mendengar meski ruangan ini tertutup hanya ada kami berdua. Tapi bagiku, itu adalah goresan pisau dan tembakan senjata api yang bertubi-tubi menyerang.
Aku cuma ingin kamu bebas, biarkan saja aku di dalam sini terkekang karena kesalahanku pada hukum negara, tapi aku mau kamu bebas. Bebas untuk memilih siapapun yang mau kamu cintai selain aku, bebas untuk menjalankan hidup seperti gadis normal yang lain. Menikah dengan pria normal.
Mendadak suara tangismu mereda dan digantikan dengan tatapan yang tak sanggup kugambarkan. Bebas? Aku cuma mau kamu yang bebas dari semua ini! Kata-katamu yang lebih menyerupai teriakan menggema di seisi ruangan kecil yang melingkupi kita.
Dan kamu tahu aku tidak bisa. Lanjutku dengan pilu tertahan. 48 detik lagi waktu yang kita punya dan cuma itu saja yang bisa kuucapkan. Entah kamu terima atau tidak.
Lalu ketika detik itu belum juga menunjuk ke angka nol, aku sudah berdiri menuju pintu besi dan menatapnya, mungkin untuk terakhir kalinya, menatapmu berdiri menghadapku yang sudah menggenggam handle pintu.
Kalau selewat 12 tahun nanti aku masih menunggu kamu, meskipun dengan wajahmu yang tidak beraturan, apa kamu masih tetap menempatkan aku di posisi paling penting di hidupmu?
Satu tarikan napas panjang dan aku menjawab sebelum keluar dari ruangan dengan senyum pahit. Selalu.
Setelah itu aku tidak tahu lagi apa yang terjadi, entah tangis yang keluar lagi dari sepasang mata indahnya atau sekedar sesal yang menekan kuat-kuat sekujur tubuhnya. Aku tidak tahu. Yang aku dengar hanya riuh ketika ia keluar karena puluhan kamera yang berusaha menangkap gambar potret dirinya dan menanyainya tentangku. Aku tidak senaif itu, aku masih berharap 12 tahun lagi ia masih menunggu di depan sana dan menyambutku menghirup kebebasan meski keinginan itu bisa dibilang sangat tidak masuk akal.
Sekuat apa kami berlari dari kenyataan yang harus dihadapi? Aku tahu kami tidak sekuat itu.
--------------
Cerpen Indonesia



regards,
neneng

Post a Comment

Hey, It's Me! :)

My photo
I'm a girl, I'm a riot, I'm a dreamer. nice to meet you :)

Search

Instagram

Them :)

Categories

story (26) hobby (18) love (16) hobi (15) me (15) renungan (14) you (14) privasi (10) us (9) him (7) secret (7) indonesia (6) oneshot (6) cerpen indonesia (5) kumpulan cerpen (5) picture (5) poem (5) cerita pendek (4) download (3) biodiversitas (2) gossip girl (2) photography (2) sepi (2) Portugal (1) college (1) fauna (1) future (1) jurnal (1) review (1) scylla (1) subtitle (1) year (1)

Most Wanted :)