Hai


“Hai.”
Hanya itu saja yang keluar dari bibirnya. Satu kata itu saja. Tidak ada yang lain.
Tidak ada yang bisa kuutarakan sebagai balasannya. Malahan tidak ada sama sekali. Aku hanya tersenyum.
Lalu ia pergi begitu saja. Tidak berniat sama sekali untuk meneruskan kalimat panjang setelah satu kata yang ia lontarkan sebagai reaksi kedatanganku. Bukannya aku tidak tahu, tapi aku berpura-pura bahwa ia akan antusias akan ini semua. Dan ternyata semua asumsiku tidak terbukti kebenarannya.
Satu setengah jam dan cairan bening dalam gelas ditanganku ini belum juga hilang dari pandangan. Masih dengan buah zaitun berwarna hijau yang berenang-renang tak beraturan yang membuatku semakin kacau.
Adakah aku harus kembali lagi dan menepuk pundaknya untuk mendengar satu kata lagi darinya?
Telingaku sudah tidak kuat mendengar teriakan iblis berwarna merah kelam yang melayang-layang disebelah kiriku dan mengata-ngataiku dengan semua kalimat menyakitkan yang sepertinya memang cocok untukku saat ini.
Pengecut.
Suara-suara diruangan yang tanpa jeda membuat dunia ini seolah berputar dimataku meskipun kakiku tetap berpijak diatas lantai marmer, dibawah cahaya lampu terang bernilai sangat tinggi dipasaran luar sana, disisi sebuah meja kayu besar yang tertutup kain berwarna merah menyala. Merah. Kombinasi warna yang tidak bersahabat sama sekali denganku. Mataku dibuat tak fokus karenanya.
Rona cahaya memantul diantara jendela berukir dipojokan dinding memaksaku membuka mata sepenuhnya. Aku tahu dia mengetahui ada yang tak beres denganku. Tapi sepertinya ia tak peduli. Jadi, apa peduliku?
“Kamu gak apa-apa?”
Biarkan aku membunuh siapapun yang mencoba menghalangiku mendengar suara ini lagi nanti di kemudian hari. Mendengarnya saja seolah semua hausku sudah terbayarkan, semua lukaku terhapuskan. Tapi sekali lagi aku hanya terdiam. Menggeleng. Tak ada jawaban lain.
Lalu ia mengangguk dan pergi lagi.
Iblis itu sudah mengeluarkan sebilah garpu neraka dan siap menghujamku dengannya. Silahkan! Bunuh aku sekalian! Karena tidak ada siksaan lebih perih dari ini semua. Aku siap.
Tapi bukan hunusan garpu tajam berwarna merah yang menyerangku dari depan, melainkan sebuah pukulan kecil dari seseorang yang nyata. Terlihat muncul dari belakang. Menatapku seperti melihat sesosok makhluk yang menunggu ajal tiba. Iba.
“Kamu gak papa, Yo?”
Aku menggeleng lagi. Bahkan ini bukan seorang yang harus kuberi perlakuan seperti itu. Untung saja kakiku benar-benar masih berpijak dengan benar. “Gak papa.”
Ia menatapku lagi dengan pandangan ragu. Maka aku merubah sorot mataku dan mencoba meyakinkannya.
“Aku gak papa, Lis. Thank you.”
Perempuan berparas khas jawa dengan tinggi hampir menyamaiku itu mengangguk, “Mungkin kamu cuma butuh udara segar. Aku tahu, Yo. Aku tahu.”
Sekali lagi anggukan menyelesaikan percakapan singkatku dengan hampir sebagian besar dari mereka semua yang bertanya-tanya. Terima kasih sudah mengerti. Terima kasih sudah memberiku sedikit jarak. Sayangnya semuanya tak sanggup kuucapkan. Tidak mungkin lagi aku lebih lama berada disini. Pusaran lingkaran yang mulai tak nyaman dan aku yakin sebentar lagi akan membelit leher kemudian meniup pergi udara yang sanggup kuraih. Sudah cukup gelas dalam genggamanku ini saja yang menemaniku, dan kini ditambah pagar pembatas balkon karena kini aku berdiri bersandar disana, membelakangi langit malam yang mencekam. Gelap. Bulan serupa bulat sempurna dan seolah siap menerjangku dari belakang.
Cairan bening itu hanya kugoyang sesekali. Mungkin jika tidak dalam keadaan seperti ini, aku akan menenggaknya sampai habis dalam kurun waktu yang amat cepat dan membiarkannya menghangatkan tenggorokanku, menenangkan pikiran, dan kemudian menghantarkanku ke alam bawah sadar. Namun tidak kali ini. Alam bawah sadar tidak lebih indah dari ini semua, tapi juga tidak lebih sakit.
Pintu pembatas antara ruang besar didalam sana dengan balkon tempatku berpijak tiba-tiba menjeblak terbuka. Oh jangan dia. Kaki jenjang dan ringan itu memasuki balkon dengan langkah satu-satu. Napasku tertahan. Tenggorokanku tercekat. Baiklah.
“Terima kasih sudah datang...” Ia berdeham singkat dan menggantung kalimatnya diawang-awang. “..Mario.”
Aku bisa melihat tiap huruf dari namaku terbang bersama angin dengan sayap mereka yang terdiam terkaku dibelakang tubuh seperti si empunya saat ini. Tidak lain lagi aku hanya mengangguk.
“Kita sudah tidak bertemu berapa tahun? 8?”
Hanya anggukan lagi dan tegukan martini yang akhirnya kulakukan untuk sedikit mengencerkan kata-kata yang mungkin mengendap ditenggorokanku. “Ya, 8 tahun.” Oh, berhasil!
Kini gilirannya yang mengangguk dan lalu bersandar di pagar dengan jarak lebih dari 1 meter dariku. “Selamat buat kehamilan istri kamu, ya. Aku turut seneng.”
Kalimatku tercekat sebelum kuijinkan keluar menyambar kata-kata darinya. Kutenggak lagi martini dari gelas yang kugenggam hingga hampir menjadi puing-puing saking kerasnya. Mataku tak kuasa untuk tidak meliriknya singkat. Ia tersenyum menangkap tatapan mataku yang membuatku menenggak lagi minuman yang tinggal sedikit. “Kamu gak berubah semenjak terakhir kita ketemu.”
“Oh ya? Malah semua orang bilang aku berubah.” Ia lalu tertawa.
Tawa renyahnya tidak berubah sama sekali, sorot matanya juga tidak, suaranya, rambutnya. Tidak ada yang berubah, ia selalu menawan dimataku.
“Sayang banget Fira gak bisa ikut, Yo. Hamilnya udah besar banget ya?”
Keengganan luar biasa merasukiku ketika pembicaraan kembali mengarah kesana. Makhluk tak kasatmata dengan pakaian putih yang terbang disebelah kananku mulai melototkan matanya padaku.  Aku tahu, aku tahu. “Sudah masuk bulan kedelapan.”
Jawabanku mungkin terlalu kaku, atau mungkin terlalu sinis. Aku tak paham. Hanya saja setelahnya terjadi lubang yang besar diantara kami berdua. Jarak 1 meter itu kini melebar dan memunculkan keheningan panjang dan mematikan.
“Kamu sendiri... kapan nikah?”
Aku benar-benar tidak mengharapkan senyum yang kini tersungging dibibirnya setelah pertanyaan yang dengan susah payah kurajut itu akhirnya terlontar dengan lancar. Ia mendongakkan kepalanya sehingga rambut ikal panjangnya menari diterpa angin malam yang dingin sebelum lalu menoleh kearahku sepenuhnya dengan wajah yang ekspresinya tidak bisa ku artikan dengan ekspresi apapun didunia ini.
“Karier membuat aku lupa aku harus memikirkan tentang hal itu, Yo. Menjalin hubungan, nikah, punya anak.” Ia membuang napas singkat, “Sadar-sadar, aku sudah seusia ini. 28, Yo! Sementara yang lain sudah merayakan ulang tahun pernikahan mereka yang kesekian, atau ulang tahun anak mereka, atau bahkan kelahiran anak mereka yang kedua maupun ketiga, aku masih dalam tahap merayakan ulang tahunku sendiri tanpa siapa-siapa disampingku.”
Napas yang ia buang dari mulutnya kini agak lebih panjang dari sebelumnya. Aku hanya memperhatikan, memperhatikan bagaimana emosi itu keluar dari dalam dirinya melalui kata-kata. Ia selalu bisa merangkai kata-kata menjadi kalimat yang akhirnya menyusun paragraf dengan sangat luar biasa. Dimataku, tak ada yang bisa menandinginya.
“Sedih banget ya jadi aku, Yo?”
Matanya memancarkan cahaya emosi yang berkecamuk didalam dadanya. Yang bisa kulakukan hanya menghampiri dan memberinya elusan punggung seadanya. Karena memang tidak ada lagi yang lain yang bisa kulakukan selain itu. Bukan lagi porsiku.
“Kupikir adanya kalian semua akan memperbaik keadaan. Tapi saat aku liat kamu dateng...” ia membiarkan mulutnya terbuka sejak kata terakhir namun tidak ada kata-kata lagi yang keluar untuk melanjutkan. Belum ada kalimat yang terjalin untuk menggambarkannya hingga beberapa waktu akhirnya ia mengurungkan dan menutup kembali mulutnya. Membiarkan kalimatnya menggantung lagi diudara.
Akhiri saja. Kutarik tubuhku yang bersandar di pagar dan siap untuk beranjak masuk kedalam ruangan besar didalam. Sepertinya disana jauh lebih nyaman dan hangat untuk suasana sedingin ini. Beberapa langkah lagi menuju pintu pembatas, aku berbalik menatap sepasang mata cokelat gelap yang disinari cahaya bulan disana. Berhenti dan memandangnya lekat-lekat, “Terima kasih sudah mengundangku, dan terima kasih... sudah pernah mengijinkanku masuk dalam kehidupanmu yang indah meskipun hanya dalam waktu yang singkat. Aku tahu kamu akan mendapatkan yang lebih baik dariku...” Aku menggantung kalimatku sebentar, mengumpulkan semua daya untuk menyebutkan namanya, “...Dinda.”
Setelah kalimat itu usai, kulangkahkan lagi kakiku dan membuka pintu didepanku lebar-lebar. Kedua mataku mendadak panas. Atau mungkin entah bagaimana martini yang kuminum juga meluber hingga keatas sana dan kini sudah tak kuasa untuk keluar lagi.
Mungkin itu juga yang sedang ia rasakan disana. Aku tidak melihatnya lagi sejak pintu kututup kembali. Mungkin ia sedang menangis dalam diam, tanpa air mata seperti yang sering ia lakukan. Atau sedang menikmati bulan dan seketika berubah menjadi penyair yang sensitif dengan pergolakan alam semesta. Aku tak tahu.
Yang aku tahu adalah segala kebiasaannya selama ini yang tak juga bisa hilang dari ingatanku. Ia selalu sibuk mengumpulkan kosa kata baru tiap kali berbincang dengan orang yang belum atau baru saja ia kenal, ia sangat menikmati hari lahirnya yang masuk dalam salah satu keajaiban alam semesta dan bahkan berbangga karena tak banyak yang merayakan ulang tahun selama 4 tahun sekali seperti dirinya, ia selalu berpikir bahwa pesta ulang tahunnya harus direncanakan sebaik dan sesempurna mungkin karena merupakan juga merayakan ketakjubannya akan alam semesta yang mengijinkannya mencicipi tanggal 29 Februari bertengger di setiap biodata yang ia tulis. Dan ia, adalah bagaimana Tuhan beserta segenap alam semesta yang ia kagumi memperkenalkan tentang keindahan perasaan didalam hati manusia kepadaku. Ia yang tidak pernah hentinya berbahagia dengan hidupnya, ia yang selalu tersenyum pada semua orang, dan ia yang kini tak bisa dilepaskan dari pekerjaannya sebagai penulis artikel utama di majalah wanita terbesar di negeri ini. Ia dan semua kekagumanku tentang dirinya yang membuatku tak juga berpaling sebelum akhirnya Tuhan mengijinkanku mengenal wanita lain yang akhirnya berada disisiku hingga saat ini.
Pada akhirnya semua ini harus berakhir. Aku tahu, ia tahu, kami tahu. Tidak ada yang sempurna selain dengan ijin dariNya. Kuletakkan gelasku di bar ditengah ruangan, menyapa semua teman dan orang yang kukenal, lalu keluar dari ruangan.
Tak ada yang tertinggal, bahkan sesal pun tidak. Jadi, lebih baik seperti ini saja.
Ya, seperti ini saja.
---
#CerpenIndonesia

regards,
neneng

Post a Comment

Hey, It's Me! :)

My photo
I'm a girl, I'm a riot, I'm a dreamer. nice to meet you :)

Search

Instagram

Them :)

Categories

story (26) hobby (18) love (16) hobi (15) me (15) renungan (14) you (14) privasi (10) us (9) him (7) secret (7) indonesia (6) oneshot (6) cerpen indonesia (5) kumpulan cerpen (5) picture (5) poem (5) cerita pendek (4) download (3) biodiversitas (2) gossip girl (2) photography (2) sepi (2) Portugal (1) college (1) fauna (1) future (1) jurnal (1) review (1) scylla (1) subtitle (1) year (1)

Most Wanted :)